HITAM & PUTIH KEHIDUPAN

Assalamu Alaikum Wr, Wb "SYUKUR ADALAH PENAWAR DARI SEMUA RASA SAKIT"

Kamis, 04 Oktober 2007

Di manakah "Perbedaan"?


Bisakah air itu mereguk dirinya sendiri?
Dapatkah pohon menikmati rasa buah yang
dihasilkannya?
Ia yang memuja Tuhan harus berdiri terpisah dariNya
Begitulah ia akan mengenal cinta Tuhan
yang menggembirakan
Sebab jika ia berkata bahwa Tuhan dan ia adalah satu
Kegembiraan itu, cinta itu, segera akan lenyap

Jangan lagi berdoa untuk bersatu dengan Tuhan
Dimanakah lagi keindahan,
jika permata dan cincinnya adalah sama?
Panas terik dan bayangan adalah dua hal,
Jika tidak, dimamnakah kesejukan bayangan?
Bunda dan putra adalah dua,
Jika tidak, dimanakah cinta?
Dikala bertemu kembali setelah lama berpisah
Alangkah gembiranya mereka, bunda dan putra itu!
Dimanakah kegembiraan, jika keduanya adalah satu?
Karena itu janganlah berdoa lagi untuk bersatu dengan Tuhan.

Coba saja didunia ini tidak ada perbedaan jenis kelamin. Apa jadinya
kalau pelangi itu warna tidak berbeda-beda. Dan, banyak orang yang
ingin melihat perbedaan itu; karena orang itu berpikir dan mendengar
bahwa perbedaan itu indah. Seorang yang buta warna ingin melihat
pelangi, karena dia mendengar "...pelangi pelangi, alangkah indahmu,
merah kuning hijau, dilangit yang biru..."

Rabu, 03 Oktober 2007

Menggenggam waktu meraih prestasi


Diasuh oleh: KH. Abdullah Gymnastiar

Apakah yang menjadi resep teramat jitu, yang dimiliki para sahabat Nabi SAW yang menjadi balatentara Islam ketika itu, sehingga mereka mampu menaklukkan dua imperium adidaya, Romawi dan Persia, yang balatentaranya amat kuat dan perkasa? Resepnya ternyata tersimpul dari pengakuan penuh kekaguman dari seorang anggota dinas intelejen Romawi setelah melakukan kegiatan mata-mata di Madinah. Kepada Kaisar Romawi ia mengutarakan kesannya tentang watak kaum muslimin, "Ruhbaanun bil-laili, firsaanun binnahaar!" Ya, mereka, kaum muslimin itu, kalau malam tak ubahnya seperti rahib, sedangkan kalau siang sungguh bagaikan singa!

Umat Islam ketika itu mampu memadukan dua kekuatan ikhtiar yang sungguh luar biasa, sehingga menghasilkan sesuatu yang, subhanallah, sangat
luar biasa pula. Tubuh dan pikiran seratus persen digunakan untuk berikhtiar, bersimbah peluh berkuah keringat. Dikerahkan segenap potensi yang telah dititipkan ALLOH Azza wa Jalla, demi teraihnya suatu prestasi tertinggi, suatu karya terbaik. Dengan demikian, jadilah ia muslim yang unggul, prestatif, dan patut dibanggakan. Selain itu, hati pun seratus persen digunakan berikhtiar dengansekuat tenaga untuk ber-taqarrub
dan mengejar pertolongan ALLOH, sehingga menjadi hamba yang ridha dan diridhai-Nya. Jadilah ia ahli ibadah yang unggul dan prestatif, kekasih ALLOH Azza wa Jalla, yang akan dikuatkan-Nya manakala ia lemah, yang akan dicukupkan-Nya ketika ia dalam kekurangan, yang akan dilapangkan-Nya bila ia dalam kesempitan, yang akan ditenteramkan-Nya tatkala ia dilanda gelisah, serta akan ditolong dan dibela-Nya sekiranya ia dianiaya dan disakiti. Bagi hamba ALLOH yang unggul dalam ibadah kepada-Nya, maka baginya ALLOH itu dekat, "...fa innii qariib. Ujiibu da'wataddaa'i idzaa da'aan" [Q.S. AI-Baqarah (2): 186]. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdo'a apabila ia mendo'a kepada-Ku! Bahkan, baginya ALLOH itu teramat dekat. "...dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." [Q.S. Qaf (50): 16]

Gambaran seorang muslim yang unggul dan prestatif memang ibarat rahib dalam kualitas ibadahnya dan laksana singa dalam kualitas semangat
jihadnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi seorang pribadi yang unggul? Salah satu kuncinya yang utama adalah kemampuan menggenggam waktu. Secara syariat, siang dan malam itu terdiri atas 24 jam. Seberapa besar seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah disediakanALLOH tersebut? Dengan kata lain, seberapa mampu seorang muslim mampu melakukan percepatan diri?
Kita ibaratkan dalam sebuah lomba balap sepeda. Ketika pistol diletuskan, tampaknya orang yang menjadi juara dalam balap sepeda tersebutadalah orang yang dalam detik yang sama bisa mengayuh sepedanya lebih kuat dan lebih cepat daripada yang dilakukan oleh orang lain, sehingga dia akan melesat mendahului pembalap yang lain karena energi yang dipergunakan dan ketepatan gerakannya lebih baik daripada detik yang sama yang dilakukan orang lain.

Artinya, keunggulan itu sangat dekat dengan orang yang paling efektif dalam memanfaatkan waktunya. Islam adalah agama yang paling dominan
mengingatkan kita kepada waktu. ALLOH sendiri berkali-kali bersumpah dalam AI-Quran berkaitan dengan waktu. "Wal 'ashri (Demi waktu)," "Wadh dhuha (Demi waktu dhuha)." "Wal lail (Demi waktu malam)." "Wan nahar (Demi waktu siang)." ALLOH pun telah mendisiplinkan kita agar ingat terhadap waktu minimal
lima kali dalam sehari semalam: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya. Belum lagi tahajjud pada sepertiga akhir malam dan shalat Dhuha ketika matahari terbit sepenggalah. ALLOH mengingatkan kita untuk selalu terkontrol dengan waktu yang ada.
Oleh sebab itu, tampaknya tidaklah perlu bercita-cita yang hebat bagi orang-orang yang menganggap remeh waktu karena kunci keunggulan
seseorang justeru terletak pada bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu secara lebih baik daripada yang dimanfaatkan oleh orang lain.

Dua puluh empat jam adalah waktu sehari semalam yang sama diberikan kepada setiap orang.
Ada yang bisa mengurus dunia. Ada yang mampu
mengurus perusahaan raksasa.
Ada yang bisa mengurus berjuta-juta manusia.Akan tetapi, ada juga orang yang selama dua puluh empat jam tersebut mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal, jatah waktu yang dimilikinya sarna.
Jangan salahkan siapa pun kalau kita tidak merasakan gemilangnya hidup ini. Hal pertama yang harus kita curigai adalah bagaimana komitmen
kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya selalu melakukan evaluasi diri. Kalau kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas
berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala pertambahan waktu tidak menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan sulit menjadi unggul dalam hidup ini.

Kita berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Rugi besar kalau kita banyak keinginan, banyak angan-angan,
banyak harapan, tetapi tidak meningkatkan kemampuan. Padahal setiap detik, menit, dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan: kemampuan keilmuan, kemampuan diri, kemampuan kelapangan dada kemampuan ibadah. Barangsiapa yang dalam setiap waktu yang dilaluinya selalu tamak dengan upaya meningkatkan kemampuan diri, maka tidak usah heran kalau ALLOH akan memberikan yang terbaik bagi diri kita. Insya ALLOH! ALLOH-lah Pemilik segala-galanya. Akan tetapi, kalau di dalam diri ini tidak ada peningkatan apa pun; ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas, hati tidak semakin bersih, ilmu tidak semakin tinggi, kekuatan pun tidak bertambah, maka yang tinggal hanyalah angan-angan belaka. Tidak lebih dari itu. Karena, sebetulnya yang terlebih penting bukanlah hanya keinginan, melainkan kemampuan -- dan itulah yang menjadi jawaban terbaik dalam mengarungi kehidupan ini.

Waspadalah terhadap waktu. Setiap waktu yang kita lalui harus kita perhitungkan dengan secermat-cermatnya. Harus membuahkan peningkatan. Kita harus berbuat lebih baik daripada yang dilakukan oleh orang lain. Hendaknya kita tidak sekadar bekerja keras saja, tetapi yang jauh lebih baik adalah bahwa kita harus bekerja keras dan efektif! Banyak orang yang sibuk bekerja tetapi juga sibuk tertinggal, sibuk lupa, serta sibuk mencari sesuatu yang seharusnya tidak dia cari karena semuanya harus sudah siap. Pendek kata, banyak orang yang tampak sibuk, tetapi ternyata tidak efektif. Bukanlah hal seperti ini yang diharapkan.
Ada orang yang duduk di depan meja dengan maksud untuk belajar. Belum beberapa detik saja dia duduk, sudah disibukkan dengan mencari ballpoint, sibuk mencari buku yang lupa meletakkannya, sibuk menjerang air untuk ngopi, sibuk melihat foto si dia yang dipajang di sudut meja. Memang dia duduk selama dua jam menghadapi meja, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Mengapa demikian? Karena, dia tidak efektif. Untuk menjadi seorang yang efektif dalam mengatur waktu, kita harus adil dalam membaginya. Ada hak belajar, hak membantu orang tua, hak ibadah, hak peningkatan kemampuan diri, hak evaluasi, hak istirahat, hak rekreasi; semua mesti dibagi dengan adil. Sibuk dan hebatnya belajar, misalnya, tetapi tanpa dibarengi dengan istirahat bahkan tanpa diiringi dengan mantapnya ibadah kepada ALLOH, itu hanya menunggu waktu yang suatu saat akan menjadi bumerang.

"Fa idzaa faraghta fanshab. Wa ilaa rabbika farghab." [Q.S. Alam Nasyrah (94):7-8]. Kunci efektivitas adalah manakala selesai menuntaskan suatu urusan, segera bersiaplah untuk mengerjakan urusan lain. Lebih dari semua itu adalah bagaimana menjadikan segalanya sebagai ladang amal dalam
rangka ibadah kepada ALLOH Azza wa Jalla. Karena, bagaimanapun pada akhirnya "kepada Tuhanmulah kamu akan kembali" Allaahu Akbar!

Senin, 01 Oktober 2007

Cinta "Perbedaan" ....?

Selama lebih dari tiga puluh tahun menjalani kehidupan (mungkin baru sadar menjalani kehidupan setelah berusia 3 tahun), berbagai bentuk cinta kutemui. Dari bentuk paling sederhana, cinta monyet, ke bentuk yang paling mendalam, cinta orang tua kepada anaknya.

Cinta Monyet, sederhana sekali. “Aku sayang kamu, sayangkah kamu kepadaku? Kalau iya, mari kita pacaran” Hahahaha..bukankah ini bentuk paling sederhana? Waktu itu aku berbicara tentang cinta yang sebenarnya tidak kumengerti sedikit pun. Yang kutulis di buku harian dan di surat-surat yang terkirim ke “yang tercinta” tidak lain ucapan orang lain. Indah, membuai, melelapkan, menenggelamkan diri dalam impian. Cinta monyet hanyalah rasa suka, suka memperhatikan dan suka diperhatikan, namun tetap memegang peranan penting karena itulah titik awal manusia menyadari kebutuhan mencinta dan dicintai; bagaimana seseorang merasa membutuhkan perhatian orang lain, orang yang khusus; pengalaman pertama dengan rasa cemburu; dan pengalaman pertama putus asa karena tidak mendapatkan balasan; serta pengalaman pertama bersama-sama membagi perasaan kepada orang lain di luar keluarga. Sembilan puluh persen cinta monyet ini berujung pada kegagalan; putus. Salah satu penyebabnya adalah ini pengalaman pertama. Pergolakan perasaan akan mengejutkan. Bagaimana aku menjadi sadar, setelah putus, akan keegoisan. Belum lagi ditambah dengan tuntutan-tuntutan di luar diriku di mana dalam usia muda belum dapat menghadapi kehidupan ini. Singkat kata, belum dewasa. Belum mampu mencari nafkah sendiri, belum sadar tantangan kehidupan.
Masa-masa pacaran selanjutnya membawa banyak masalah. Aneh, benar-benar aneh, mengapa harus bertanya ‘apakah cinta itu’ padahal aku merasakannya? Mungkinkah aku tidak percaya bahwa cinta adalah perasaan? Mungkinkah aku punya keyakinan bahwa cinta bukanlah untuk manusia biasa? Masa ini masalah yang tidak timbul di periode sebelumnya menjadi timbul. Idealisme dan kenyataan berseteru.

  1. Persepsi orang lain, terutama orang tua, mengenai perbedaan status ekonomi. Pameo umum, jangan mencari pasangan dengan perbedaan status ekonomi yang jauh, terutama bagi pria. Para pria takut jika calon istrinya jauh di atasnya; takut dihina;takut diremehkan sebagai kepala keluarga, takut tidak bisa membiayai standar hidup istrinya, dan juga takut pandangan sinis saudara-saudara dari pihak istri. Pria memang makhluk sensitif dalam hal harga diri…ya gak?! Hehehehe…

  2. Ketidakyakinan terhadap pacar. Masa belajar di mana semua biaya berasal dari orang tua membuat hidup ini santai (dengan catatan biayanya cukup lho). Tidak adanya masalah riil membuat orang mengada-adakan masalah. Tanpa sadar dalam waktu singkat berusaha mengenal semua tentang diri pacar; padahal itu tidak mungkin. Bagaimana kita mengetahui dan mengenal idealisme, pandangan, norma kehidupan seseorang tanpa berhadapan dengan krisis/masalah? Menurutku, cara atau bagaimana seseorang berperilaku dalam menghadapi masalah akan menunjukkan diri sebenarnya. Bukan masalah yang dibuat-buat, buat pula masalah yang kabur atau imajinatif.

  3. Perbedaan suku. Masyarakat punya pandangan beberapa ras memiliki sifat eksklusif (hanya memilih pasangan dari rasnya). Sebenarnya preferensi ini bukanlah karena eksklusivitas meski orang-orang tua cenderung mengiyakannya. Penyebab preferensi ini adalah kesamaan latar belakang, kebiasaan dan adat. Sebagai orang timur, perkawinan tidak lepas dari keluarga. Perkawinan adalah penyatuan dua keluarga. Nah, tetua-tetua keluarga memiliki kecenderungan mempertahankan tradisi turun-temurun sehingga pewarisan tradisi ini akan menjadi tekanan untuk keluarga baru menikah di mana pasangan berasal dari tradisi yang berbeda.

  4. Perbedaan agama. Semua agama yang kukenal menganjurkan pernikahan dengan pasangan dari agama yang sama. Ini bukan sesuatu yang salah; mirip dengan perbedaan suku dan tradisi. Kesamaan agama bisa memperkuat ikatan pernikahan dan mempermudah pendidikan rohani anak-anak. Namun perlu dicatat bahwa manusia seharusnya bersifat universal, artinya meskipun beda ras, tradisi dan agama, semuanya adalah anggota penduduk bumi, hehehehe…; ada moral, norma, atau nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan dipegang teguh oleh seluruh manusia. Cinta adalah nilai kemanusiaan universal.

  5. Perbedaan sifat. Hueee..ini lebih aneh lagi. Orang-orang senantiasa cenderung berkumpul dengan orang yang memiliki sifat yang sama; juga latar belakang yang sama. Ada daya tarik dalam persamaan-persamaan itu. Adanya daya tarik tersebut membuat penilaian terhadap orang dengan sifat yang berbeda menjadi rada ‘miring’. Di usia muda, kecenderungan menerima perbedaan sifat sangat tipis. Perbedaan sifat seharusnya memperkaya diri masing-masing namun perlu diingat bahwa tidak setiap perbedaan ada ‘matching’ nya dan tidak tiap kesamaan akan ‘matching’ juga.

Cinta orang tua kutemukan setelah usia lewat dua puluh tahun. Demikian lama aku baru menyadari cinta orang tua, mungkin penyebabnya otakku rada dodol. Di usia remaja, sebagai anak laki-laki, pemberontakan mulai muncul dan berkobar-kobar. Pemberontakan adalah proses psikologis yang mendewasakan; artinya seorang laki-laki mulai mempertanyakan nilai-nilai, dan dengan mempertanyakan semoga dia akan menemukan nilai-nilai hidupnya yang kemudian akan dibawa ke keluarga yang akan dibentuknya. Ada pemberontakan yang berujung negatif, ada yang mendewasakan. Pemberontakan ini adalah proses lepas dari kekuasaan atau wewenang orang tua.
Menjelang usia tiga puluhan aku baru benar-benar menyadari cinta orang tua meski banyak kejadian-kejadian pahit yang harus kulalui dan aku mempelajarinya dari keluarga orang lain. “Rumput tetangga lebih hijau”, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak”. Dari cinta orang tua lah aku sadar arti cinta sebenarnya. Bagiku cinta orang tua kepada anak adalah cinta tanpa syarat karena:
1. Sejelek, sesalah apa pun si anak, orang tua tetap berusaha membiayai dan mengusahakan terbaik buat anaknya.
2. Keadilan kasih sayang di antara anak-anak bukan masalah besar. Kalau ada ‘anak emas’ itu karena kecocokan antara anak dan orang tuanya. Kasih sayang sebenarnya adalah membiarkan anak berkembang sesuai dengan keinginannya.
3. Saat terakhir seseorang, hal yang biasanya teringat adalah anak. “Si itu gimana yah kalo aku tinggal?”, “wah, anakku belum berkeluarga”, bla bla blah.

Ada yang tidak setuju denganku bahwa cinta orang tua adalah cinta tanpa syarat. Beberapa komplain bahwa orang tuanya senantiasa memaksakan kehendak. Betul..itu betul; namun ingat bahwa orang tua juga memiliki keterbatasan. Mereka akan mendidik anak-anak dengan keterbatasannya itu. Singkat kata, mereka juga senantiasa belajar mengaktulkan ‘cinta’. No one is perfect.
Mau berontak? Silakan saja, sah-sah saja, asalkan jangan menutup diri terhadap lingkungan dan masukan dari orang-orang lain. Hidup ini belajar. Aku yakin, dengan syarat tidak menutup ‘mata’, dengan berlalunya usia seseorang akan makin mengerti cinta yang telah diberikan orang tuanya.
Bagaimana dengan cinta terhadap seseorang? Nah..ini dia bagian yang seru. Tapi aku sudah cape, ntar lain kali nyambung lagi soal cinta terhadap seseorang ini.