Selama lebih dari tiga puluh tahun menjalani kehidupan (mungkin baru sadar menjalani kehidupan setelah berusia 3 tahun), berbagai bentuk cinta kutemui. Dari bentuk paling sederhana, cinta monyet, ke bentuk yang paling mendalam, cinta orang tua kepada anaknya.
Cinta Monyet, sederhana sekali. “Aku sayang kamu, sayangkah kamu kepadaku? Kalau iya, mari kita pacaran” Hahahaha..bukankah ini bentuk paling sederhana? Waktu itu aku berbicara tentang cinta yang sebenarnya tidak kumengerti sedikit pun. Yang kutulis di buku harian dan di surat-surat yang terkirim ke “yang tercinta” tidak lain ucapan orang lain. Indah, membuai, melelapkan, menenggelamkan diri dalam impian. Cinta monyet hanyalah rasa suka, suka memperhatikan dan suka diperhatikan, namun tetap memegang peranan penting karena itulah titik awal manusia menyadari kebutuhan mencinta dan dicintai; bagaimana seseorang merasa membutuhkan perhatian orang lain, orang yang khusus; pengalaman pertama dengan rasa cemburu; dan pengalaman pertama putus asa karena tidak mendapatkan balasan; serta pengalaman pertama bersama-sama membagi perasaan kepada orang lain di luar keluarga. Sembilan puluh persen cinta monyet ini berujung pada kegagalan; putus. Salah satu penyebabnya adalah ini pengalaman pertama. Pergolakan perasaan akan mengejutkan. Bagaimana aku menjadi sadar, setelah putus, akan keegoisan. Belum lagi ditambah dengan tuntutan-tuntutan di luar diriku di mana dalam usia muda belum dapat menghadapi kehidupan ini. Singkat kata, belum dewasa. Belum mampu mencari nafkah sendiri, belum sadar tantangan kehidupan.
Masa-masa pacaran selanjutnya membawa banyak masalah. Aneh, benar-benar aneh, mengapa harus bertanya ‘apakah cinta itu’ padahal aku merasakannya? Mungkinkah aku tidak percaya bahwa cinta adalah perasaan? Mungkinkah aku punya keyakinan bahwa cinta bukanlah untuk manusia biasa? Masa ini masalah yang tidak timbul di periode sebelumnya menjadi timbul. Idealisme dan kenyataan berseteru.
- Persepsi orang lain, terutama orang tua, mengenai perbedaan status ekonomi. Pameo umum, jangan mencari pasangan dengan perbedaan status ekonomi yang jauh, terutama bagi pria. Para pria takut jika calon istrinya jauh di atasnya; takut dihina;takut diremehkan sebagai kepala keluarga, takut tidak bisa membiayai standar hidup istrinya, dan juga takut pandangan sinis saudara-saudara dari pihak istri. Pria memang makhluk sensitif dalam hal harga diri…ya gak?! Hehehehe…
- Ketidakyakinan terhadap pacar. Masa belajar di mana semua biaya berasal dari orang tua membuat hidup ini santai (dengan catatan biayanya cukup lho). Tidak adanya masalah riil membuat orang mengada-adakan masalah. Tanpa sadar dalam waktu singkat berusaha mengenal semua tentang diri pacar; padahal itu tidak mungkin. Bagaimana kita mengetahui dan mengenal idealisme, pandangan, norma kehidupan seseorang tanpa berhadapan dengan krisis/masalah? Menurutku, cara atau bagaimana seseorang berperilaku dalam menghadapi masalah akan menunjukkan diri sebenarnya. Bukan masalah yang dibuat-buat, buat pula masalah yang kabur atau imajinatif.
- Perbedaan suku. Masyarakat punya pandangan beberapa ras memiliki sifat eksklusif (hanya memilih pasangan dari rasnya). Sebenarnya preferensi ini bukanlah karena eksklusivitas meski orang-orang tua cenderung mengiyakannya. Penyebab preferensi ini adalah kesamaan latar belakang, kebiasaan dan adat. Sebagai orang timur, perkawinan tidak lepas dari keluarga. Perkawinan adalah penyatuan dua keluarga. Nah, tetua-tetua keluarga memiliki kecenderungan mempertahankan tradisi turun-temurun sehingga pewarisan tradisi ini akan menjadi tekanan untuk keluarga baru menikah di mana pasangan berasal dari tradisi yang berbeda.
- Perbedaan agama. Semua agama yang kukenal menganjurkan pernikahan dengan pasangan dari agama yang sama. Ini bukan sesuatu yang salah; mirip dengan perbedaan suku dan tradisi. Kesamaan agama bisa memperkuat ikatan pernikahan dan mempermudah pendidikan rohani anak-anak. Namun perlu dicatat bahwa manusia seharusnya bersifat universal, artinya meskipun beda ras, tradisi dan agama, semuanya adalah anggota penduduk bumi, hehehehe…; ada moral, norma, atau nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan dipegang teguh oleh seluruh manusia. Cinta adalah nilai kemanusiaan universal.
- Perbedaan sifat. Hueee..ini lebih aneh lagi. Orang-orang senantiasa cenderung berkumpul dengan orang yang memiliki sifat yang sama; juga latar belakang yang sama. Ada daya tarik dalam persamaan-persamaan itu. Adanya daya tarik tersebut membuat penilaian terhadap orang dengan sifat yang berbeda menjadi rada ‘miring’. Di usia muda, kecenderungan menerima perbedaan sifat sangat tipis. Perbedaan sifat seharusnya memperkaya diri masing-masing namun perlu diingat bahwa tidak setiap perbedaan ada ‘matching’ nya dan tidak tiap kesamaan akan ‘matching’ juga.
Cinta orang tua kutemukan setelah usia lewat dua puluh tahun. Demikian lama aku baru menyadari cinta orang tua, mungkin penyebabnya otakku rada dodol. Di usia remaja, sebagai anak laki-laki, pemberontakan mulai muncul dan berkobar-kobar. Pemberontakan adalah proses psikologis yang mendewasakan; artinya seorang laki-laki mulai mempertanyakan nilai-nilai, dan dengan mempertanyakan semoga dia akan menemukan nilai-nilai hidupnya yang kemudian akan dibawa ke keluarga yang akan dibentuknya. Ada pemberontakan yang berujung negatif, ada yang mendewasakan. Pemberontakan ini adalah proses lepas dari kekuasaan atau wewenang orang tua.
Menjelang usia tiga puluhan aku baru benar-benar menyadari cinta orang tua meski banyak kejadian-kejadian pahit yang harus kulalui dan aku mempelajarinya dari keluarga orang lain. “Rumput tetangga lebih hijau”, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak”. Dari cinta orang tua lah aku sadar arti cinta sebenarnya. Bagiku cinta orang tua kepada anak adalah cinta tanpa syarat karena:
1. Sejelek, sesalah apa pun si anak, orang tua tetap berusaha membiayai dan mengusahakan terbaik buat anaknya.
2. Keadilan kasih sayang di antara anak-anak bukan masalah besar. Kalau ada ‘anak emas’ itu karena kecocokan antara anak dan orang tuanya. Kasih sayang sebenarnya adalah membiarkan anak berkembang sesuai dengan keinginannya.
3. Saat terakhir seseorang, hal yang biasanya teringat adalah anak. “Si itu gimana yah kalo aku tinggal?”, “wah, anakku belum berkeluarga”, bla bla blah.
Ada yang tidak setuju denganku bahwa cinta orang tua adalah cinta tanpa syarat. Beberapa komplain bahwa orang tuanya senantiasa memaksakan kehendak. Betul..itu betul; namun ingat bahwa orang tua juga memiliki keterbatasan. Mereka akan mendidik anak-anak dengan keterbatasannya itu. Singkat kata, mereka juga senantiasa belajar mengaktulkan ‘cinta’. No one is perfect.
Mau berontak? Silakan saja, sah-sah saja, asalkan jangan menutup diri terhadap lingkungan dan masukan dari orang-orang lain. Hidup ini belajar. Aku yakin, dengan syarat tidak menutup ‘mata’, dengan berlalunya usia seseorang akan makin mengerti cinta yang telah diberikan orang tuanya.
Bagaimana dengan cinta terhadap seseorang? Nah..ini dia bagian yang seru. Tapi aku sudah cape, ntar lain kali nyambung lagi soal cinta terhadap seseorang ini.